Kereta (Part 1)
- Tiara A
- Oct 27, 2020
- 4 min read
Menjadi perantau, hmmm... kata-kata ini mungkin sudah tak asing bagi remaja yang akan mulai memasuki fase dewasa. Perlahan kita akan merasakan bagaimana rasanya menjadi perantau, hidup di kota orang dan jauh dengan keluarga. Entah untuk menempuh perguruan tinggi atau mencari cuan untuk hidup dan sesuap nasi. Namun jujur saja, menjadi perantau memberikan perasaan tegang dan menantang namun sekaligus menyenangkan.
Waktu itu setelah menghabiskan liburan singkat lima hari di rumah, aku harus dihadapkan kembali dengan kenyataan untuk segera kembali ke tanah rantau. Aku ingat betul, aku memilih tiket kereta yang jadwal pemberangkatannya pagi-pagi sebelum subuh. Tak tau apa alasannya, tapi aku jadi terbiasa memilih berangkat pagi setiap kembali ke tanah rantau.
Aku kembali bersama dengan temanku, niatnya dia sekalian menjagaku katanya. Tapi nyatanya karena pesan tiket kereta terlalu mepet, kita tidak dapat kursi yang berdampingan, kita bahkan tidak satu gerbong.
“Besok lagi bakal aku beli semua tiket satu gerbong.” Gerutunya sesaat setelah turun dari mobil sembari memakai tas punggungnya yang berisi pakaian-pakaian yang ia bawa pulang kemarin.
Sementara aku hanya tersenyum kecil. Baguslah, dengan kehadiran dia ternyata bisa sedikit menghiburku setelah sedikit merasa sedih karena harus kembali pada kenyataan aku harus hidup sendiri di kota orang. Tak ada sandaran, selain bertumpu pada kaki sendiri.
Tak lama setelah itu, ternyata keretanya datang lebih cepat dari yang kuduga. Kembali menelan kenyataan pahit, aku harus segera pamit dengan kedua orangtua ku. Maklum karena anak pertama, perempuan lagi, jadi kalau mau kembali ke tanah rantau orang tua suka nganterin. Sementara Pram, temanku tadi, segera membawakan barang bawaanku setelah berpamitan dengan orang tuaku.
“Sedih ya?” tanyanya saat menungguku kembali memasukkan tiket dan kartu identitas yang sempat diperiksa tadi.
Aku tersenyum kecil, bisa-bisanya dia berhasil mengetahui perasaanku saat mati-matian aku menyembunyikannya. “Sok tau.” Tukasku cuek. Sementara Pram tak percaya dengan jawabanku dan tak hentinya mencibirku. Heran, bagaimana bisa dia mengetahui semua perasaanku ketika aku tak menjelaskannya sama sekali.
Pram terus berjalan di belakangku, saat hendak naik ke kereta ia bahkan memegangi tanganku padahal ia membawa barang banyak. Ia memastikanku tetap aman hingga aku duduk nyaman di kursiku. Berteman sejak SMP, rasanya kami sama-sama mengerti kepribadian kami yang sebenarnya. Pram tak semudah ini memberikan perhatian yang berlebih kepada orang baru, kebanyakan menganggap Pram adalah sosok yang dingin. Siapa yang tahu, padahal dia orang alay minta ampun yang suka panik.
“Bawa bekal ga?” tanya Pram setelah selesai menata barang bawaanku. Sementara aku menggeleng kecil yang membuat Pram mendecak kesal. Ia kemudian merogoh tasnya dan memberikanku sebungkus roti dan susu coklat. “Buat ngeganjel pas laper.” Ucapnya kesal.
Lagi-lagi aku dibuat senyum karenanya, lucunya lagi, setelah menampakkan muka juteknya kepadaku, ekspresinya langsung berubah sopan dan tersenyum manis kepada penumpang nenek dan cucunya yang duduk di depanku. Oiya, ini kereta ekonomi yang kursinya hadap-hadapan.
“Dah, aku ke kursi aku ya.”
“Iya.”
“Kalo ada apa-apa, chat aja.”
“Idih, emang bakal ada apa? Orang bakalan tidur juga selama perjalanan.”
“Oiya bener juga.”
“Dah sana, menuh-menuhin tempat aja!” Tukasku sambil mendorong-dorong Pram untuk segera pergi, sementara Pram mendecak kesal karena perlakuanku sebelum akhirnya ia pergi sendiri dengan raut juteknya.
Setelah Pram pergi menuju gerbongnya, aku merasakan sesuatu yang kosong karena kembali menyelami perasaan yang aku tutupi sejak tadi. Kereta perlahan melaju dan makin lama makin cepat. Mendengar suara laju kereta yang makin cepat, aku merasa ada sesuatu yang mencelos dalam hatiku. Rasa sedih tiba-tiba menyeruak. Mungkin karena suara itu mengantarkan perpisahan. Iya, perpisahan dengan segala kenyamanan yang kutinggalkan di kota asal.
Aku tau ini terlalu drama, meski sudah dua tahunan merantau, aku masih cengeng. Aku masih sering cemas. Cemas tentang bagaimana aku menjalani kehidupanku di kota orang. Kehidupan tak pernah stagnan, ia dinamis. Ada hal-hal tak terduga sering terjadi. Banyak hal-hal yang menyenangkan, tak sedikit juga yang membuatku menangis. Kecemasan mengenai hal-hal tak pasti itu selalu membuatku secengeng ini, karena aku tak tau dimana aku harus bersandar ketika lelah, dimana aku harus meluapkan semua kelemahanku.
Terlalu larut dalam pikiranku yang terlalu cengeng ini, aku tak menyadari anak kecil yang duduk di depanku sedang menangis. Sementara neneknya sedang mencoba menenangkannya. Terlihat begitu hangat dan lembut, ketika tangan neneknya membelai lembut kepala cucunya itu. Aku mengerjapkan mataku terkejut ketika sang nenek tiba-tiba memandangku, mungkin beliau merasa diperhatikan olehku. Menyadari aku yang kikuk, sang nenek tersenyum hangat padaku.
“Orang tuanya cerai, kakaknya bakalan ikut ayahnya dan dia ikut ibunya, karena masih ada yang diurus jadi dia ikut saya dulu ke Jakarta.” Cerita sang nenek sambil tangan keriputnya terus membelai puncak kepala cucunya, sementara sirat matanya terlihat sangat sendu.
Aku agak terkejut sebenarnya ketika sang nenek bercerita hal yang sangat pribadi, menurutku. Namun tak segan bercerita kepadaku yang baru saja ditemuinya. Hal yang bisa aku pikirkan adalah mungkin nenek butuh sekali tempat cerita, bahwa ia sedih melihat rumah tangga anaknya harus karam dan cucu-cucu kesayangannya menjadi korban.
Aku menatap nanar ke arah nenek, namun karena aku tak ingin sang nenek terlihat dikasihani, maka aku segera melempar seulas senyum sebagai tanggapan dari ceritanya. Melihat cucunya belum juga berhenti menangis, maka kuputuskan memberikan roti dan susu cokelat yang Pram beri tadi. Aku dan sang nenek akhirnya bertukar cerita, beliau menanyakan tentang akan kemana ku pergi, memberiku beberapa nasihat ketika harus hidup di kota orang, beliau bahkan berbasa-basi mau mengajakku mencicipi masakannya di lain waktu.
Tanpa sadar momen langka ini aku temukan di situasi tak terduga. Di sebuah kereta yang dengan orang yang tak ku kira. Saking berartinya momen ini, bahkan ada wejangan dari sang nenek yang sangat membekas sekali bagiku. “Masa muda itu, dimanfaatkan dengan baik. Jangan sampai masa muda kamu dibuat untuk mikir cemas hal-hal yang belum terjadi. Ambisi itu penting, tapi dunia sosial dan kesenangan kamu jangan sampai dilupakan.”
Saat itu, suara nenek terdengar begitu lembut namun sayangnya memberikan tamparan semu yang terasa nyata. Benar adanya, orang-orang memanfaatkan masa remajanya untuk mengejar yang ia sebut ‘impian’, terlalu jauh berlari seringkali orang lupa akan tujuan awalnya. Hingga ia lupa apa yang sebenarnya ia kejar, yang ia dapatkan malah keserakahan. Nahasnya, setelah ia sadar, waktu sudah berlalu sementara yang ia dapat hanya kebahagiaan semu.
Comments