Musim Gugur (Part 1)
- Tiara A
- Jan 20, 2021
- 3 min read
Aroma tanah basah menyeruak begitu kuat, angin-angin dingin bekas hujan deras tadi juga berhembus lembut menyentuh kulit-kulitku. Sengaja kuhirup dalam-dalam, sehingga suasana melankolis ini lagi-lagi memanggil perasaan itu. Perasaan nyeri yang tak kunjung hilang, bekas yang tak kunjung lepas. Rasanya air mata sudah di pelupuk. Pun dada terasa di tusuk-tusuk.
Sebenarnya siapa yang kukejar selama ini? Kepada siapa harapan itu kugantung? Segala tentangnya bahkan sudah tak ada lagi di sekelilingku. Ia raib, seakan di telan bumi. Namun ada satu yang terus berdiri kokoh, cerita tentangnya yang sekarang menjadi cerita lama. Berkali-kali mencari cerita baru, pun sepatah kata tidak kutemukan. Seakan ia memang sengaja untuk menghilang, meninggalkan janji yang sudah ia karang.
"Menyedihkan."
Aku membuka mataku perlahan ketika suara bariton itu berhasil menelusup kedalam telingaku. Mataku mengerjap berkali-kali untuk bisa melihat laki-laki itu dengan jelas, karena nyatanya air mata yang di pelupuk itu sudah berhasil membasahi kedua mataku.
"Kenapa nangis?" tanyanya lagi.
"Ngapain disini?"
"Ditanya malah balik nanya." Ia mencibir sembari menempatkan dirinya duduk disampingku.
Aku diam, mengabaikan pertanyaannya. Padahal dia sudah tau jawaban pastinya, mengapa harus bertanya? Bahkan ia juga sudah tau bagaimana persisnya perasaanku, kenapa harus bertanya? Namun, meski begitu, melihatku yang diam dan enggan untuk menjawab dia juga ikut diam. Lalu kami sama-sama tenggelam dalam bisu, terkubur dalam sunyi, dan tenang dalam keheningan.
Deru angin makin terasa. Sepucuk daun kuning berterbangan lalu kemudian jatuh tepat di bahuku, tanpa rasa apapun. Sebelum berhasil tanganku bergerak, ia sudah lebih dulu mengambil daun kuning itu dari bahuku. Kemudian ia tersenyum kecil sebelum akhirnya memandangku dengan tatapan penuh makna, yang tentu saja aku tak dapat memahami makna apa sebenarnya.
"Kamu ga mau berhenti, Sha?"
Aku kembali menatap kedua mata Arkana. Lagi-lagi, tatapan mata itu, yang sampai sekarang aku tak mengerti arti tatapannya. Namun kusadari, tatapannya matanya sungguh teduh, dipenuhi kehangatan. Kau tau, ada perasaan nyaman yang mungkin sebenarnya aku cari-cari selama ini.
"Ekhm.." aku berdeham pelan dan mengerjapkan mataku berkali-kali setelah hampir sepersekian detik aku terlena dengan tatapan Arkana. "Kamu tau persis jawaban aku." Jawabku akhirnya.
Arkana terkekeh pelan. "Kamu tau, ada saatnya kamu harus bergerak dari tempat kamu, Sha." Arka menunjukkan daun kuning tadi tepat di depan mataku. "Pohon saja tau kapan harus menggugurkan daunya."
Aku berdecih pelan, mencibirnya dan mengalihkan pandanganku. "Pohon ga punya perasaan, Arka." Cercahku tak terima dengan analoginya yang menyamakanku dengan sebatang pohon. "Lagian pohon mah gampang, setelah ganti musim dia bisa langsung tumbuh lagi daunnya. Maksudku disini adalah, pohon ga perlu terlalu lama menggundul, sudah jelas akan ada penggantinya."
"Kamu juga punya."
"Siapa?"
"Ada."
"Kamu?"
"Mau?"
Tiba-tiba saja, mata kami bertemu tanpa sengaja. Seakan mengunciku, tatapan Kama benar-benar tak bisa kualihkan. Kedua bola mata hitam itu benar-benar memancarkan sebuah ketulusan. Aku tak mengerti dengan situasi ini. Terlalu membingungkan. Bahkan jantungku tiba-tiba berdegup, serta sayap kupu-kupu yang mengepak-ngepak di perut, ternyata seperti ini rasa yang sering diceritakan dalam novel-novel itu.
"Masih ada waktu buat musim gugur." Kata Arkana, sementara aku mengernyitkan dahiku. "Maksudku, masih ada waktu juga buat kamu gugurin semua harapan yang entah kepada siapa kamu gantungkan itu. Perasaanmu juga, gugurkan."
Aku terdiam beberapa saat. Sementara angin terus menderu menerbangkan apa yang ada di sekelilingnya, pikiranku pun ikut terbawa. Terbang dan melayang, pikiranku mencoba memahami apa yang terjadi. Mencoba memahami mengapa perasaanku menjadi aneh secara tiba-tiba.
"Jangan terlalu dipikirkan." Kata Arkana sembari membalut tubuhku dengan jaketnya. "Kalau ditanya serius apa ga, jelas aku serius."
"Sejak kapan?"
"Aku tak tau persis, tapi itu benar-benar sangat lama."
"Tapi kamu tau persis gimana perasaan aku, Arka."
Kedua tangan Arka menyentuh bahuku. Dia tersenyum, sangat hangat dan tulus. "Kita punya empat musim, setelah musim gugur ini, setelah kamu berhasil menggugurkan semua harapan itu, aku bisa mengukir sesuatu yang baru di musim-musim yang lain."
"Lalu di musim gugur selanjutnya?"
"Kita kembali menggugurkan kesalahan-kesalahan kita, lalu kembali mengukir yang baru di musim yang lain."
Aku menepis tangan Arka dari bahuku secara lembut. Kutatap ia lagi dalam-dalam. Tak kutemukan secercah tatapan bercanda. Ia benar-benar serius atas pernyataan perasaannya padaku. Tapi maksudku, bagaimana aku bisa tak menyadarinya. Kami selama ini bersama-sama, banyak menghabiskan waktu berdua. Tapi kenapa semuanya tak terlihat.
"Ga perlu ngasih jawaban sekarang. Yang perlu kamu lakukan adalah, membuka hati. Jangan tertutup hanya untuk dia." Sahut Arkana. Lalu ia berdiri, matanya menyipit memandang sekitar halaman belakang rumahku, kemudian menunduk menatapku. "Lagipula, memangnya harapan itu masih nyata?"
Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng kecil. Lalu Arkana pulang, meninggalkan senyuman manis yang aku yakin akan tertanggal cukup lama di ingatanku.
To be continue...
Comentários