Tentang Waktu Yang Tak Pernah Berhenti Melaju
- Tiara A
- Mar 20, 2021
- 3 min read
Dulu saat kecil, saat masih menjadi manusia yang paling bahagia, aku selalu merengek agar waktu cepat berlalu. Agar waktu cepat membawaku kepada kehidupan orang dewasa. Namun ketika berhasil mencapai di titik menuju kedewasaan, mendadak aku ingin waktu agar berhenti melaju. Berhenti untuk terus membawaku menulusuri dunia dengan kepastian yang tak akan pernah ku tahu. Berhenti untuk terus mengajakku berkelana menikmati sedu. Begitu banyak mengalami hal-hal yang tak ku inginkan menjadikanku takut dengan waktu.
Kedewasaan yang saat kecil selalu ku tunggu, ternyata menjadi hal yang tak ingin ku tuju. Kau tau alasannya apa? Sangat sederhana. Semakin kau beranjak dewasa, dunia semakin menuntutmu menjadi tangguh, nahasnya hati dan fisik mu malah semakin rapuh. Banyak hal-hal dalam pikiran yang selalu bergemuruh. Banyak hal-hal yang menyakitkan yang menelusup kedalam hati secara gaduh. Banyak tumpukkan harapan yang belum terwujud dan menjadikan kita jenuh. Namun yang bisa kulakukan hanyalah sesekali mengeluh dan mengaduh. Pada siapa? Tentu saja pada diri sendiri.
“Tau ga?” tanyanya tiba-tiba, membuat lamunanku buyar seketika.
Aku menoleh menatapnya. “Apa?”
“Semakin kamu menginginkan waktu untuk berhenti berlalu, semakin cepat waktu untuk melaju.”
Aku terdiam sejenak dan diam-diam mengiyakan pernyatanyaan tanpa ada niat mengelak. Akhir-akhir ini aku sering sekali berharap agar waktu berhenti untuk berjalan, meski hanya sejenak saja. Inginku juga tak muluk-muluk, hanya butuh istirahat dan menemukan Kembali semangat yang sudah raib dari pelupuk. Mungkin kandas karena luka dan kecewa yang terlalu nahas. Namun saat aku tenggelam dalam kesedihan, waktu menelanku kedalam kesengsaraan. Iya, kesengsaraan yang tak berarti dan pelan-pelan malah menjadi belati.
Aku terdiam namun waktu terus berjalan.
“Aku takut.” Ucapku.
“Takut apa?”
“Takut menghadapi ketidakpastian di masa depan.”
“Hm? Kenapa baru takut sekarang? Dari dulu kan hidup memang tak pernah ada kepastian.”
“Akhir-akhir ini, sudah banyak hal-hal pahit dan menyakitkan yang sudah kutelan.”
Seketika dia tertawa. Aku tidak mengerti dimana letak kelucuan dari ucapanku barusan yang penuh dengan nada keprihatinan. Dia mendadak menjadi laki-laki yang memiliki suara tawa paling menyebalkang yang pernah kudengar. Beberapa detik setelah puas tertawa, dia menatapku dengan sirat memandangku secara konyol.
“Ya kalau yang dirasakan Cuma manis Namanya bukan kehidupan.”
“Tapi?”
“Mimpi doang.”
Aku mendecak kesal begitu mendengar jawabannya yang terlontar dengan nada mengejek.
“Dengerin ya, bahkan kegiatan menyenangkan kaya makan aja tetap ada hal-hal menyebalkannya. Kamu pas makan pernah tersedak, bukan?”
“Hm.”
“Pernah juga makan buah yang ternyata masih pahit, bukan?”
“Hm.”
“Tapi kamu juga sering menjumpai makanan yang enak-enak, bukan?”
“Hm..”
“Hidup juga begitu, tak selamanya menyenangkan tapi juga tak selalu menyakitkan. Bagaimana kamu bisa tau buah itu manis atau pahit, kamu harus tetap mencobanya kan? Lagi-lagi harus aku katakan, hidup juga seperti itu. Harus kamu coba agar bisa tau apa saja tantangannya dan bagaimana hasilnya.”
Aku menatap laki-laki secara dalam-dalam. Mencoba mencari kehangatan yang dapatku jadikan sebagai perlindungan.
“Tapi aku takut.”
“Takut apa lagi?”
“Mungkin hari ini aku bisa menghadapi tantangan yang ada, tapi bagaimana jika besok akan ada tantangan yang lebih berat?”
“Hei, tubuhmu itu Cuma satu ya. Jangan kamu ajak berkelana memikirkan hal-hal yang belum terjadi kalau hari ini saja belum berhasil kau selesaikan.”
Aku lagi-lagi terdiam. Menatap hamparan ilalang yang menjulang dan bergoyang-goyang mengikuti irama arah angin.
“Hidup jangan dibikin pusing, yang penting kamu melakukan yang terbaik.”
“Klise.”
“Dibilangin ngeyel.”
“Iya iya.”
Ilalang-ilalang yang bergoyang itu masih tanpa suara, begitu pula aku yang kembali diam berkecamuk dalam kepala. Masih menelan ketakutan yang sulit hilang. Tapi perlahan aku menyadarinya, aku akan semakin tenggelam dalam kesengsaraan jika masih saja takut akan masa depan. Waktu tak pernah mengijinkan kita untuk berhenti, jadi yang bisa kulakukan hanyalah mempersiapkan diri.
Aku menatap laki-laki itu lagi, kemudian dia tersenyum dan berdeham.
“Kalau lelah, kamu bisa bersandar.” Ucapnya sambil menepuk bahunya dengan gengsi.
Comments