Manusia Bumi
- Tiara A
- Oct 22, 2020
- 3 min read
Jauh diujung sana, matahari terus bergerak hendak mengelincirkan cahayanya. Melalui waktu yang dibuat secara perlahan, menciptakan suasana nyaman. Sejenak aku melupakan berbagai kekacauan yang terjadi di bumi ini. Kau tau bumi kini makin berisik, semua kata-kata yang terlontar dari mulut manusia-manusia itu selalu mengusik. Aku tak mengerti mengapa mereka saling mencaci kemudian saling membenci. Bahkan terkadang, aku yang hanya diam tak ingin masuk kedalam lingkaran setan, pun tetap ditarik paksa mengikuti permainan kejam mereka.
Kau tahu, makin dewasa makin pula aku tak mengerti harus bagaimana menjalani hidup ini. Bumi yang awalnya kukira dapat menjadi tempat paling aman dan nyaman sehingga aku dengan berani menggantungkan harapan, kini berubah menjadi tempat paling mencekam. Tempat yang selalu ingin aku tinggalkan, namun aku tak mengerti harus kemana aku berlari.
Iya. Manusia-manusia itu yang membuat ricuh bumi ini. Sama-sama penghuni bumi tapi enggan berbagi. Sama-sama menggantungkan harapan tapi saling menjatuhkan. Berlomba-lomba menjadi yang paling hebat, tapi entah apa yang akhirnya mereka dapat. Lalu disaat aku tengah terhanyut makin dalam oleh pikiranku, ku dengar derap langkah kaki yang membuat jembatan kayu ini berdecit. Tanpa aku harus menolehkan kepala, aku tahu persis bahwa itu kamu.
"Kenapa? Memikirkan manusia bumi lagi?" tanyamu dengan nada seolah-olah bosan dengan kebiasaan pemikir ku ini. Kemudian kamu memakaikan jaketmu di tubuhku, memastikanku tetap hangat dari terpaan angin sore.
Aku menoleh ke arahmu, memandang setiap lekuk wajahmu. Lalu kusadari, senyum hangat itu tak pernah sekalipun pudar. Seakan-akan menawarkan kenyamanan, aku dibuat enggan beralih dari senyummu. "Manusia bumi itu menyebalkan." Gerutuku sambil mendengus.
Lalu kamu tertawa, kurasakan tangan besarmu menyentuh puncak kepalaku. Perlakuan sederhana yang dapat membuatku tak karuan. "Sayangnya kamu juga manusia bumi kan."
Ah ya, benar. Aku melupakan fakta itu.
"Kalau kamu menganggap mereka menyebalkan, mereka juga berpikir sebaliknya." Ucapmu mencoba menasehatiku tanpa nada menggurui. Kemudian kamu menatap mataku secara lekat-lekat. "Bagian mana yang membuat kamu sakit hati?" tanyamu dengan lembut.
"Mereka menganggapku remeh."
"Oh.." Kamu menggeser duduk lebih dekat denganku. Secara lembut dan perlahan kamu meraih tangan kiriku kemudian kamu genggam dengan begitu hangat. Pandanganmu lurus kedepan memandangi sungai yang terbentang luas. "Kamu tau kan, langit tak perlu menjelaskan bahwa ia tinggi."
"Tapi aku bukan langit yang semua orang tau bahwa ia tinggi. Aku..."
"Sedang berusaha menjadi tinggi?" tanya kamu yang kujawab dengan anggukan kecil. "Yasudah, lakukan. Jangan dengarkan yang lain."
"Tapi mereka mengganggap aku ga mampu."
"Kalau ada yang menganggap kamu tidak mampu, berarti ada juga yang menganggap kamu mampu. Karena jika ada hitam pasti ada putih, dibalik duka ada suka, orang-orang ada yang buruk tapi tak sedikit juga yang baik." Ujar mu dengan semua untaian kata indah yang berhasil meluncur lancer sambil menatapku dengan bola mata yang penuh dengan ketulusan.
Ketulusan dan kehangatan yang kamu tawarkan itu benar-benar menyadarkanku atas beberapa hal, meski aku harus termenung lebih dulu dan mencerna semua kata-katamu di otakku. Tapi, ya, kamu benar. Segala yang ada di dunia ini memang selalu berjalan berdampingan. Ada kalanya kesedihan itu datang untuk memunculkan kebahagiaan. Kegagalan ada sebagai awal dari kesuksesan. Kata-kata jahat yang dilakukan oleh manusia-manusia bumi itu ada untuk memunculkan semangat dan membuktikan bahwa kita jauh lebih hebat dan berbeda dengan kata-kata jahat yang dilontarkan tersebut. Meski aku membenci manusia-manusia bumi itu, namun aku juga bagian dari mereka dan bisa saja ku menjadi objek yang dibenci oleh manusia bumi yang lain. Tak apa, memang kodratnya sudah begitu. Warna itu ada berbagai macam, tapi kamu tak perlu menyukai semuanya. Begitu juga sifat manusia.
Comments