Noucturne in E Flat Major
- Tiara A
- Oct 22, 2020
- 3 min read
Siang itu waktu menunjukkan pukul 1 siang, harusnya matahari bersinar terang. Namun, hujan yang tak diduga-duga itu tiba-tiba datang. Gumpalan awan mendung itu datang berarakan diiringi tirai-tirai hujan yang menawan. Sementara hawa dingin mulai menyeruak, kurasakan kekosongan ruangan ini menambah rasa kehampaan.
Mataku tak dapat beralih menatap rintikan hujan yang berjatuhan itu, maka kulangkahkan kakiku dan duduk di pinggir kaca lebar yang menampakkan keindahan hujan. Mengamati sibuknya kota dari atas gedung ini. Aku tak bisa menahan senyum kecilku ketika menangkap dua sosok anak kecil yang berlari ditengah hujan. Kadang menjadi kecil memang se-menyenangkan itu.
Namun tak lama setelah itu, kudengar decit pintu yang terbuka perlahan. Bunyinya persis pintu yang terbuka di film-film horror. Aku bahkan berhasil dibuat merinding karenanya, namun tiba-tiba ketika kulihat sosok dibalik pintu itu seketika aku menghembuskan napasku dan melepas ketakutan.
"Mas Rei, ih ngagetin aja!" omelku begitu Mas Rei menampakkan dirinya dengan benar setelah mengintip tak jelas.
Sementara Mas Rei hanya tertawa dan melangkahkan kakinya mendekati piano setelah menutup pintu ruang musik ini. Pianonya terletak tak begitu jauh dari tempat ku duduk saat ini, dan Mas Rei sempat tersenyum begitu hangat kepadaku sebelum ia duduk dan mulai meletakkan jari jemarinya yang ramping diatas tuts-tuts piano.
"Which one do you prefer, Mozart or Beethoven?" tanya Mas Rei sambil menolehkan kepalanya memandangku.
Aku mengulum senyumku. "Excus me, i'm just Chopin."
Mas Rei terkekeh, badan yang semula tegap tiba-tiba mengendur mendengar jawabanku. Ia pura-pura memasang ekspresi tak percaya. "Serius, Dit?" Tanyanya. "Perihal yang ga umum, kamu ga usah diragukan lagi ya, Dit." Cercahnya sambil kembali menegakkan badannya.
Saat Mas Rei mulai memainkan jari jemarinya yang menari begitu indah di atas tuts-tuts hitam putih itu, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum. Laki-laki terlampau indah ketika sudah berurusan dengan piano. Seakan piano adalah lampunya, ia bersinar begitu terang. Senyum yang sesekali ia lemparkan kepadaku ditengah ia memainkan E Flat Major, menyadarkanku bahwa hangat tak sekedar berasal dari sinar matahari.
Permainannya yang begitu indah, entah mengapa berhasil mengantarkanku kepada memori masa lalu. Ketika diri tak harus berperang dengan dunia yang keji. Bermain mungkin menjadi hal-hal pokok setiap hari.
"Kenapa?" Suara Mas Rei tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Akibat terlalu larut, aku bahkan tak sadar ia sudah selesai bermain.
"A-apanya?" tanyaku terbata-bata sambil mengerjapkan mataku berkali-kali karena mendapati Mas Rei yang sudah duduk begitu dekat di hadapanku.
"Kamu, kenapa mukanya suram. Kaya masa depan. Hahaha." Celetuknya dengan diiringi tawa yang begitu renyah. Kemudian kurasakan tangannya mulai membelai puncak rambutku dengan lembut. "Jangan sedih, sini coba cerita."
Aku tersenyum mendengar nada suara Mas Rei yang terdengar begitu nyaman. Kusadari juga, ternyata aku banyak tersenyum saat dekat dengannya. "Kenapa ya, orang-orang di sekitar aku bisa begitu hebat? Kenapa Mas, bisa melejit begitu cepat karirnya. Sementara aku engga."
Kutatap kedua bola mata coklat Mas Rei yang menawarkan begitu banyak kenyamanan dan kehangatan. Sudut-sudutnya tertarik begitu manis. Mengapa ia bisa menjadi sesempurna ini, sementara aku masih begini.
"Dit, gatau udah berapa kali aku ngomong. Insecure yang kamu rasakan itu penyakit. Jangan dipelihara."
"Pengennya juga gitu, Mas. Tapi gabisa."
"Siapa bilang gabisa? Kamu yang gamau, Dit."
Aku mendengus pelan, mengalihkan pandanganku ke luar jendela. "Orang-orang begitu gemilang prestasinya dan cepat juga melejitnya. Termasuk kamu."
Mas Rei meraih kedua tanganku dan mengenggamnya erat-erat. Mendadak kurasakan hangat yang menjulur keseluruh tubuhku. Bahkan kurasakan pipiku begitu panas, serasa mau meledak. "Prestasi apa yang kamu maksud? Kenapa orang butuh prestasi?"
"Ya kalo ga punya prestasi, mana bisa kita diakuin."
Mas Rei tersenyum lebar, tatapannya berubah penuh sayang. Aku tak tahu lagi, kenapa bisa ada orang seperti ini.
"Dit, yang kamu cari itu bukan prestasi. Tapi pengakuan." Celetuk Mas Rei dengan nada yang lembut.
Sayangnya, meski terdengar lembut dan begitu sopan masuk di telinga, tapi aku merasakan tamparan yang hebat. Bersamaan dengan hujan yang berjatuhan, aku menyadari, ada yang salah dalam pola pikirku selama ini. Mas Rei benar, aku bukannya fokus dengan prestasi yang hendak aku capai, malah memikirkan bagaimana bisa mendapat pengakuan yang sama. Fokusku salah, caraku juga salah. Semuanya salah sejak awal.
"Dengar ya, Dit. Kamu unik. Kamu bisa mencapai prestasi kamu dengan cara kamu sendiri, dan mungkin sangat berbeda dengan cara-cara orang di sekitar kamu. Seperti kamu lebih memilih Chopin dibanding Mozart ataupun Beethoven." Jelas Mas Rei panjang lebar.
"Semuanya salah sejak awal, Mas Rei."
"Gapapa, gaada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik."
Dan hari itu, aku akan berterimakasih pada hujan yang bersahutan, Chopin dengan E Flat Majornya, dan Mas Rei yang merangkum hari menjadih begitu indah. Terutama ucapannya yang begitu lembut namun berhasil member tamparan begitu kuat.
Comments